www.marketing.co.id - Sebuah penelitian di tahun 2011 dari sejumlah perusahaan besar di Indonesia mengungkap bahwa setelah delapan tahun lulus S1 dan bekerja, ternyata 59% profesional perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan S1 mereka. Data lain menunjukkan, ternyata perputaran keluar-masuk sales/marketing executive jenjang first line/entry hingga supervisor/middle level manajemen adalah 19%. Padahal untuk profesi akuntan, insinyur, produksi dari jenjang serupa adalah sekitar 12%! Temuan ketiga, dari sebuah penelitian oleh klinik pengobatan terkemuka—yang merupakan cabang dari klinik spesialis terkenal di luar negeri—atas gangguan seksual, persentase terbesar (27%) pasien yang berobat datang dari kalangan profesional yang memiliki kompetensi utama di bidang sales dan marketing dibanding sembilan kategori profesi lainnya yang mereka pantau.
Apa yang terjadi dengan para sales & marketing profesional sehingga mereka menghadapi tiga kendala di bawah ini:
- berkarier tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan (kurang memiliki hard/technical skills yang sepadan dengan kualifikasi pekerjaan yang ditekuni)
- cenderung sering berpindah bagian/beralih profesi atau keluar perusahaan tempat bekerja (kurang cocok dengan pekerjaan sehari-hari);
- mengalami banyak disfungsi ereksi seksual walau masih di usia produktif akibat persaingan tinggi dan tekanan bekerja dalam meraih target-target tertentu.
Salah satu kemungkinan jawaban adalah perusahaan tidak menganut azas manajemen perekrutan dan seleksi “the right man for the right job”. Proses perekrutan dan seleksi sejak awal dilakukan secara “normatif” dengan seleksi psikotes dan wawancara berlapis, atau—yang lebih parah—hanya mengandalkan koneksi karyawan/relasi usaha dan wawancara berlapis. Hasilnya?
Tidak heran, dalam 3–4 tahun kemudian terjadi keluar-masuk karyawan sales & marketing di atas 19% dan tingkat kesuksesan mereka ketika dipromosikan menjadi area sales manager atau regional sales manager atau senior brand/product manager atau market development manager yang andal dan qualified ternyata di bawah 60% (setelah satu tahun dipromosikan). Sebuah tingkat kegagalan dalam promosi yang tinggi! (>40%).
Akibatnya, perusahaan terhambat bertumbuh cepat di atas 25% per tahun dan melakukan pemubaziran senilai Rp 28 juta per karyawan yang mengundurkan diri setelah mereka direkrut , dilatih, dan dibina sebelum usai masa kerja empat tahun di perusahaan.
Salah satu cara efektif dalam mengatasi tantangan di atas adalah melakukan proses pemeriksaan dan analisis 10 sidik jari dari calon karyawan yang akan direkrut, atau dari karyawan yang baru akan menyelesaikan masa 3–6 bulan percobaan, atau calon pimpinan manajemen atas. Tiga tujuan utama memasukkan ini dalam proses seleksi calon karyawan dan pengembangan karyawan adalah:
- menerapkan dengan konsekuen dan intensif azas perekrutan dan seleksi karyawan dengan titik berat “the right man for the right job” yang dikaji dari segi bakat alami atau talenta genetik mereka yang kuat atau yang sudah terasah, maupun yang masih terpendam/belum terlatih;
- membedakan secara spesifik dan praktis antara minat versus bakat karyawan dan memastikan bahwa perusahaan tidak begitu saja menyeleksi calon karyawan berdasarkan minat tanpa menelusuri lebih jauh bakat atau talenta yang menunjang minat itu. Minat diibaratkan sebagai wants (keinginan), sedang bakat identik dengan needs (kebutuhan) dalam menekuni pekerjaan atau karier;
- melengkapi perusahaan dengan sebuah alat diagnostik tambahan (selain CV, psikotes, dan wawancara berlapis) yang cepat (dalam 15 menit pemeriksaan 10 sidik jari dan hasil 1X24 jam setelah pemeriksaan) dan harga rekomendasi analisis yang terjangkau (mulai dari Rp 300 ribuan per karyawan).
Bagi perusahaan yang belum terbiasa menerapkan pemeriksaan psikotes dalam menerima karyawan baru, pemeriksaan, analisis, dan rekomendasi 10 sidik jari bisa merupakan sebuah pilihan alat penyaring yang ampuh, efektif , praktis, dan terjangkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar