Lupakan Amerika, Pendidikan di Finlandia yang Terbaik Sedunia
***
Popularitas Finlandia
Finlandia dulunya terkenal sebagai negara produsen raksasa handphone, Nokia. Kini, popularitas Nokia meredup karena pasaran smartphone dirajai oleh iPhone dan Android. Walaupun Nokia sekarang sudah punya produk smartphone berbasis Windows Phone, tapi masih belum bisa menyamai dominasi iPhone dan Android.
Namun, belakangan Finlandia telah menarik mata dunia melalui survei-survei global mengenai kualitas hidup (Newsweek menasbihkan Finlandia sebagai negara dengan kualitas hidup No.1 di dunia tahun 2010) dan sistem pendidikan nasional Finlandia telah menerima banyak pujian dan pengakuan karena di beberapa tahun belakang pelajar-pelajar Finlandia mendapatkan skor tes tertinggi sedunia.
Sorotan dunia ke sistem pendidikan nasional Finlandia berawal dari survei PISA. Survey ini dilakukan setiap 3 tahun sekali oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD/ Organisasi untuk Kerja Sama dan Perkembangan Ekonomi). Survei ini membandingkan pelajar usia 15 tahun dari berbagai negara pada bidang baca-tulis, matematika, dan sains.
Finlandia meraih peringkat hampir teratas pada ketiga kompetensi tersebut pada semua survei di tahun 2000, sejajar dengan pelajar super jenius dari Korea Selatan dan Singapura. Pada survei tahun 2009, Finlandia agak terpeleset sedikit, di mana pelajar dari Shanghai, China meraih skor terbaik, tapi pelajar Finlandia tetap nyaris teratas.
Amerika Serikat saja tidak masuk 10 besar. Indonesia? Indonesia masuk zona degradasi cyiin.. alias zona bawah. Intip aja di sini. Saya mencoba mencari hasil survei tahun 2012, tapi sepertinya belum dirilis pada saat tulisan ini dibuat.
Dibandingkan dengan stereotipe model pembelajaran Asia Timur (murid dijejali hafalan yang super buanyak super lengkap dan perlu waktu berjam-jam untuk berhasil menghafalkannya di luar kepala), keberhasilan Finladia sangat menarik. Sekolah-sekolah di Finlandia sangat sedikit memberikan PR (tidak lebih dari 1/2 jam waktu pengerjaan) dan lebih banyak melibatkan siswanya dalam aktivitas yang lebih kreatif. Hal ini lah yang membuat Finlandia kini sering menjadi tujuan studi banding oleh delegasi asing dari berbagai belahan dunia.
Pasi Sahlberg, Direktur Mobilitas Internasional, Departemen Pendidikan Nasional Finlandia telah membukukan kesuksesan sistem pendidikan Finlandia ini: Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?
***
Karakteristik Sistem Pendidikan Finlandia
1. Tidak ada sekolah swasta di Finlandia
Hanya ada sedikit sekolah independen di Finlandia, dan bahkan semuanya dibiayai pemerintah. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membebankan biaya sekolah. Tidak ada universitas swasta. Dengan kata lain, pelajar-pelajar di Finlandia bersekolah di sekolah negeri, dari preschool hingga Ph.D.
Hal ini sungguh jauh berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya. Di Amerika Serikat, biaya sekolah SMA swasta saja bisa mencapai $35,000 selama setahun.
Di Indonesia sendiri, untuk masuk TK saja, orang tua murid harus merogoh duit hingga 10 juta rupiah, hanya untuk uang pangkal. Uang kuliah? Hehehe. Pas jaman saya masuk kuliah (2007), uang pangkal sekitar 25 juta. Uang semester saya masih cukup terjangkau saat itu, 1,5 juta. Uang kuliah junior di bawah saya (2008 ke atas) semakin melejit mahal. Dari 2,5 juta hingga 7,5 juta. Terakhir, saya tanya teman saya yang masih berkuliah semester 6 di universitas yang sama, uang semesternya adalah 5 juta rupiah. Itu universitas negeri lho. Hehehe. Apa kabar universitas swasta? Adik saya yang masuk universitas swasta jurusan kedokteran gigi, biaya kuliahnya mencapai 200 jutaan. Hiiik.
2. Tidak Ada Ujian Standar
Menurut Sahlberg, Amerika (dan negara lain yang menerapkan komersialisasi pendidikan, termasuk pendidikan di Indonesia, menurut saya) selalu terobsesi dengan pertanyaan berikut: Bagaimana cara memantau kinerja siswa jika tidak diuji secara konstan? Bagaimana bisa meningkatkan pengajaran jika tidak ada pertanggungjawaban ke guru-guru yang payah atau tidak memberikan penghargaan pada guru yang baik? Bagaimana cara menciptakan kompetisi dan melibatkan sektor swasta? Bagaimana cara menciptakan variasi pilihan sekolah kepada orang tua/pelajar?
Jawaban dari realita Finlandia tampaknya bertentangan dengan mindset orang Amerika ataupun para reformis pendidikan lainnya.
Finlandia tidak memiliki ujian nasional pada tiap jenjang pendidikan. Yang ada hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional yang diambil pada jenjang sekolah menengah atas yang bersifat 'sukarela'.
Wajib belajar di Finlandia sendiri adalah antara usia 7 - 16 tahun. SD 6 tahun, SMP 3 tahun. Setelah lulus SMP, siswa memiliki pilihan: 1. boleh langsung masuk dunia kerja atau 2. masuk sekolah persiapan profesi atau gimnasium (sekolah menengah atas). Sekolah menengah atas ini setara dengan jenjang SMA di Indonesia. Lulusan sekolah menengah atas ini nantinya bisa lanjut lagi ke politeknik ataupun universitas. Pada intinya, tidak ada UN SD dan SMP. Dan mungkin UTS dan UAS lainnya.
3. Besarnya Tanggung Jawab Guru
Kalo ga ada ujian, bagaimana cara mereka mengukur kinerja pendidikannya? Guru-guru di sekolah negeri Finlandia mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menilai siswa satu kelas menggunakan tes independen yang mereka ciptakan sendiri. Semua anak mendapatkan kartu rapor tiap akhir semester, tapi rapor ini berdasarkan penilaian individu oleh tiap guru. Secara berkala, Menteri Pendidikan memantau kemajuan nasional dengan menguji beberapa sampel kelompok dari sekolah yang berbeda.
Sistem ini memungkinkan dihasilkannya penilaian yang sangat spesifik ke kemampuan tiap individu siswa. Bukan sistem penilaian umum yang mungkin kurang dapat menjangkau kemampuan spesifik tiap siswanya. Guru dapat mengeluarkan kreatifitasnya untuk memberikan perhatian khusus ke tiap siswa. Guru jadi punya tanggung jawab dan peran yang lebih besar.
Kadang seorang guru tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu siswanya tapi dibatasi oleh sistem sekolah yang menyatakan bahwa lebih penting untuk bergerak lanjut mengikuti kurikulum yang ada daripada memperlambat "hanya demi" siswa-siswa yang membutuhkan waktu tambahan dalam menerima pelajaran.
Guru dan staf administrasi sekolah di Finlandia memiliki martabat/gengsi yang tinggi, gaji yang layak, dan banyak tanggung jawab. Gelar Master (S2) diperlukan untuk menjadi guru. Program pelatihan guru di Finlandia adalah salah satu sekolah profesional yang paling selektif di negara ini. Jika terdapat guru yang performanya buruk, tanggung jawab kepala sekolah untuk menangani hal tersebut.
4. Kurikulum yang Fleksibel
Konsep pendidikan Finlandia tidak menegakkan kurikulum pendidikan di mana setiap sekolah "harus mengajarkan kurikulum yang sama dengan metode yang sama pada jadwal yang sama." Kementerian Pendidikan meluncurkan "Kurikulum Dasar" yang fleksibel, semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas.
Kurikulum Dasar ini berlaku sebagai dasar untuk setiap sekolah saat mereka mempersiapkan kurikulum sendiri, di mana mereka dapat berkreasi menekankan pada pedagogi tertentu, pendidikan nilai tertentu (misalnya, sekolah hijau), keterampilan (seni, olahraga, bahasa), atau isu-isu lokal (misalnya, sekolah multikultural).
Setiap kelas difasilitasi hingga 3 orang guru. Apa yang guru pendidikan pelajari dari universitas memberi mereka berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan sesuka mereka. Keanekaragaman dipandang sebagai kekuatan yang nyata dengan tidak mengisolasi siswa yang berbakat (dan/atau yang kaya) ke sekolah swasta seperti yang terjadi di Amerika atau di Indonesia, di mana kebanyakan siswa pintar dan kaya akan lebih cenderung masuk sekolah swasta bergengsi.
Para pelajar di Finlandia sangat menikmati belajar, selalu rindu sekolah, tidak rela tidak sekolah hanya karena libur ekstra atau sakit. Bisa dikatakan guru lah kunci keberhasilan dari sistem sekolah Finlandia, dan individualitas yang diperbolehkan dalam kelas. Para guru melihat siswanya sebagai individu dengan kebutuhan yang berbeda: fokus pada masing-masing anak dan kekuatan serta problem tiap anak.
Sila intip suasana belajar di kelas sekolah Finlandia yang relaks di video ini.
5. Tidak Ada Kompetisi
Sistem pendidikan Finlandia juga tidak mengenal namanya kompetisi. Ga ada main peringkat, ranking-ranking-an, juara 1 juara 2 dan seterusnya. Tidak ada daftar sekolah terbaik atau guru terbaik di Finlandia. Pendorong utama dari kebijakan pendidikan bukanlah persaingan antar guru dan antar sekolah, tapi KERJA SAMA .
Tidak adanya persaingan pada pendidikan publik di Finlandia sehingga guru yang terbaik tidak dapat 'dicuri' untuk bekerja bagi sektor swasta. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi label pada siswa.
Bahkan bisa dibilang, Finlandia memandang kompetisi dalam dunia pendidikan merupakan konsep yang destruktif. Mental anak-anak dapat dihancurkan oleh evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak ini sendiri percaya bahwa mereka tidak cukup baik. Bagi Finlandia, ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur untuk memenuhi standar, mereka dapat menghasilkan performa yang terbaik. Anak-anak harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang terlepas dari bakat mereka.
Fungsi pendidikan seyogianya dapat membentuk siswa menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat bernavigasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih 'pintar' atau sebaliknya, tidak berharga. Oiya, siswa dengan development disorder ataupun penyandang cacat lainnya diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lainnya lho.
Siswa dengan development disorder/penyandang cacat lainnya diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lain |
6. Variasi Pilihan Sekolah yang Sedikit
Di sini, orang tua sibuk mencarikan sekolah terbaik untuk anaknya, masuk sekolah swasta yang mentereng lah, universitas negeri di pulau Jawa. Di Finlandia, pilihan sekolah tidak lagi menjadi prioritas utama. Pilihan sih ada, tapi ya variasinya sama aja.
Puluhan tahun lalu, ketika sistem sekolah Finlandia sangat membutuhkan reformasi, tujuan dari program yang diterapkan Finlandia, yang mengantarkan Finlandia pada kesuksesan saat ini, bukanlah mengejar keunggulan akademis (excellence), tapi KESETARAAN (equity).
Sejak 1980-an, pendorong utama kebijakan pendidikan Finlandia adalah pemikiran bahwa setiap anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, terlepas dari latar belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan pemain bintang, tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial.
Dalam pandangan Finlandia, sekolah harus sehat, lingkungan yang aman untuk anak-anak. Hal ini dimulai dengan yang dasar. Finlandia menawarkan semua murid makanan sekolah gratis, akses mudah ke perawatan kesehatan, konseling psikologis, dan bimbingan individual siswa.
Malahan, karena keunggulan akademis bukanlah prioritas khusus bagi Finlandia, ketika para pelajarnya meraih skor begitu tinggi pada survei PISA pertama pada tahun 2001, banyak warga Finlandia mengira, "Ah, ngaco tuh hasil survei nya". Namun, hasil tes PISA selanjutnya mengkonfirmasi bahwa Finlandia (tidak seperti, katakanlah, negara-negara serupa seperti Norwegia) berhasil menciptakan keunggulan akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan.
Berikut testimoni salah satu siswa Finlandia.
Saya adalah pelajar usia 18 tahun Finlandia (bilingual bahasa Finlandia dan bahasa Inggris). Saya adalah siswa dengan performa yang selalu baik. (Dalam ujian matrikulasi, saya meraih nilai yang tinggi, masuk ke 5% siswa skor tertinggi di Finlandia). Saya dididik dengan sistem pendidikan Finlandia hampir seumur hidup saya, kecuali masa 3 tahun dalam program International Baccalaureate.
Program IB menekankan apa yang disebut dengan siswa "berprestasi". Bagi saya, ini adalah lingkungan belajar yang penuh stres. Mengatur fokus pada pekerjaan sekolah sulit bagi saya, ketika hanya murid bintang kelas yang benar-benar mendapat perhatian guru dan sisanya dibiarkan berjuang sendiri. Keadaan ini membuat masing-masing murid beradu satu sama lain - saling tinggi-tinggian nilai ujian (Wow, padahal di sini pemadangan sehari-hari tuh).
Saya meninggalkan program IB setelah tiga tahun, persaingan yang tinggi tidak memberi saya kesempatan lagi untuk sukses dibandingkan dengan pendekatan Finlandia yang ramah. Minat tertentu dan bakat saya selalu diakui oleh guru saya. Guru Finlandia fokus pada menjaga standar kelompok, bekerja sama dengan masing-masing murid. Para siswa yang dirasa lebih sulit mengikuti materi, menerima perhatian dan bantuan yang mereka butuhkan secara individual. Ini tidak berarti bahwa siswa berbakat menjadi tertahan, malah sebaliknya. Guru Finlandia menerima kenyataan bahwa satu kelas terdiri dari berbagai individu dengan tahap perkembangan intelektual yang berbeda. Suasana seperti ini sangat menguntungkan, dan bagi perfeksionis seperti saya, lingkungan ini lebih mudah untuk melakukan yang terbaik.
Sekolah Finlandia memiliki kurikulum nasional yang hadir untuk memberikan guru kebebasan lebih. Ya, saya tahu kedengarannya bertentangan, namun kurikulum hanya menyatakan dengan jelas apa yang harus diajarkan dan diraih sekolah untuk masing-masing kelompok usia. Tidak ada aturan untuk urutan atau metode yang terlibat. Hal ini memungkinkan untuk setiap guru untuk meng-cover setiap topik dengan cara yang menurut mereka menguntungkan dan masuk akal.
Program IB menekankan apa yang disebut dengan siswa "berprestasi". Bagi saya, ini adalah lingkungan belajar yang penuh stres. Mengatur fokus pada pekerjaan sekolah sulit bagi saya, ketika hanya murid bintang kelas yang benar-benar mendapat perhatian guru dan sisanya dibiarkan berjuang sendiri. Keadaan ini membuat masing-masing murid beradu satu sama lain - saling tinggi-tinggian nilai ujian (Wow, padahal di sini pemadangan sehari-hari tuh).
Saya meninggalkan program IB setelah tiga tahun, persaingan yang tinggi tidak memberi saya kesempatan lagi untuk sukses dibandingkan dengan pendekatan Finlandia yang ramah. Minat tertentu dan bakat saya selalu diakui oleh guru saya. Guru Finlandia fokus pada menjaga standar kelompok, bekerja sama dengan masing-masing murid. Para siswa yang dirasa lebih sulit mengikuti materi, menerima perhatian dan bantuan yang mereka butuhkan secara individual. Ini tidak berarti bahwa siswa berbakat menjadi tertahan, malah sebaliknya. Guru Finlandia menerima kenyataan bahwa satu kelas terdiri dari berbagai individu dengan tahap perkembangan intelektual yang berbeda. Suasana seperti ini sangat menguntungkan, dan bagi perfeksionis seperti saya, lingkungan ini lebih mudah untuk melakukan yang terbaik.
Sekolah Finlandia memiliki kurikulum nasional yang hadir untuk memberikan guru kebebasan lebih. Ya, saya tahu kedengarannya bertentangan, namun kurikulum hanya menyatakan dengan jelas apa yang harus diajarkan dan diraih sekolah untuk masing-masing kelompok usia. Tidak ada aturan untuk urutan atau metode yang terlibat. Hal ini memungkinkan untuk setiap guru untuk meng-cover setiap topik dengan cara yang menurut mereka menguntungkan dan masuk akal.
***
Demografi Negara Menentukan Kinerja Sistem Pendidikan?
Sentimen tetap eksis pada kesuksesan pendidikan Finlandia ini. Sentimen itu misalnya datang dari Amerika Serikat yang menekankan pada homogenitas penduduk Finlandia.
Pasi Sahlberg menekankan bahwa bukunya tidak dimaksudkan menjadi pedoman ketat untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara-negara lain. Keadaan setiap negara berbeda. Dibandingkan dengan Amerika atau Indonesia misalnya, Finlandia adalah negara kecil dengan populasi yang jauh lebih homogen daripada Amerika Serikat atau Indonesia.
Namun, Sahlberg tidak berpikir bahwa masalah ukuran atau homogenitas sebuah negara harus membuat kita mengabaikan contoh Finlandia. Finlandia adalah negara yang relatif homogen - pada 2010, hanya 4,6 persen penduduk Finlandia lahir di negara lain, dibandingkan dengan 12,7 persen di Amerika Serikat. Namun jumlah penduduk kelahiran asing di Finlandia meningkat dua kali lipat selama dekade hingga 2010, dan kualitas pendidikan Finlandia tetap tidak kecolongan. Imigran cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, menyebabkan beberapa sekolah menjadi jauh lebih beragam daripada yang lain, namun belum ada banyak perubahan pada kurangnya variasi sekolah Finlandia dalam survei PISA di periode yang sama.
Populasi penduduk Finlandia adalah 5,4 juta jiwa. Jauh dari jumlah penduduk satu negara Indonesia. Populasi penduduk Jakarta saja masih lebih banyak (sekitar 9 juta jiwa). Populasi penduduk satu negara Finlandia setara dengan penduduk provinsi Riau. Dan tentunya, etnis penduduk Indonesia sangat beragam.
Samuel Abrams, peneliti dari Columbia University Teachers College, pernah membahas pengaruh ukuran dan homogenitas penduduk suatu negara pada kinerja pendidikan negara dengan membandingkan Finlandia dengan negara Skandinavia lainnya: Norwegia. Layaknya Finlandia, Norwegia kecil dan lumayan homogen. Tapi tidak seperti Finlandia, Norwegia memiliki kebijakan pendidikan yang lebih mirip Amerika (privatisasi) daripada Finlandia.
Hasilnya? Performa Norwegia pada survei PISA biasa-biasa saja. Abrams menyatakan,kebijakan pendidikan lebih penting dalam menentukan keberhasilan dan mengatasi masalah pendidikan negara daripada ukuran negara tersebut atau keanekaragaman etnis di negara itu.
***
Ekonomi Berbasis Ilmu Pengetahuan
Ketika pembuat kebijakan Finlandia memutuskan untuk mereformasi sistem pendidikan negaranya di tahun 1970-an, mereka melakukannya karena mereka menyadari bahwa untuk menjadi kompetitif, Finlandia tidak bisa mengandalkan pada sektor manufaktur atau sumber daya alam mereka yang minim dan sebaliknya harus berinvestasi dalam ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
Pengalaman Finlandia menunjukkan bahwa untuk menuju tujuan itu, negara harus menyiapkan bukan hanya beberapa penduduknya dengan baik, tetapi semua penduduknya dengan baik, untuk ekonomi baru. Untuk memiliki sekolah terbaik di dunia mungkin masih belum cukup baik jika ada anak-anak yang tertinggal.
Karena kadang beasiswa, education voucher system, atau sekolah gratis yang cuma satu dua, tidaklah cukup. Selain itu, "anak-anak yang tertinggal" kadang tidak melulu karena soal ekonomi orang tua, tapi ada juga karena "uneducated parents". Orang tua yang tidak sadar tentang pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Dan orang tua macam ini eksis di lapisan ekonomi rendah hingga ekonomi tinggi (keluarga elite).
***
Sistem Ekonomi dan Sosial Finlandia
Berbicara dengan pendidikan sebuah negara, tentu tak lepas dengan pemerintah menjalankan suatu negara. Ya kan kebijakan pendidikan yang ngeluarin pemerintah.
Finlandia bukanlah negara sosialis, baik secara sosial maupun ekonomi, tetapi dijalankan kini oleh pemerintah konservatif (menurut standar Eropa) dan sebelumnya juga dipimpin kaum konservatif (partai para pengusaha) atau disebut juga dengan "Center", yang merupakan partai kaum petani.
Sektor privat diperbolehkan masuk (tidak seperti pada sistem sosialisme sejati), tapi pajak cukup tinggi karena semua layanan publik digratiskan. Singkatnya, untuk sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak (kesehatan, pendidikan, dll) digratiskan; selebihnya untuk sektor-sektor selain itu (kebutuhan sekunder ke tersier ke kemewahan), swasta boleh masuk (ya contohnya kayak Nokia itu).
Finlandia lebih berfokus pada kesetaraan kesempatan. Finlandia adalah negara kecil yang tidak mau bakat apapun yang dimiliki setiap warga negaranya menjadi sia-sia, tidak mau terkonsentrasi di bagian utara atau selatan negara saja,tidak mau spesifik dimiliki oleh si miskin atau si kaya saja, dan tidak mau spesifik bagi yang dibesarkan di desa atau di kota.
Mereka meyakini bahwa kesetaraan dalam pembelajaran dini akan memungkinkan anak-anak untuk menemukan potensi sejati mereka ketika mereka tumbuh dewasa.
***
Apakah kesuksesan sistem pendidikan Finlandia ini terlalu utopia bagi negara lain? Terlalu mustahil?
Pasi Sahlberg menyatakan bahwa walaupun bukunya bukan ditujukan sebagai pedoman strictuntuk meraih kesuksesan dalam sistem pendidikan, tapi bukunya dapat dijadikan sebagai "pamflet harapan". Finlandia 20 tahun lalu adalah negara miskin yang bergantung pada sektor agrikultur. Namun, mereka berhasil bangkit dan membutuhkan waktu hingga satu generasi. Komitmen kolektif nasional mengantarkan mereka hingga seperti sekarang. Indonesia? Hehmm..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar