Translate

Senin, 16 Juli 2012

Psikotest

MOM A: Anakku otak tengahnya diaktivasi. Dia bisa baca buku dengan mata tertutup lohJeung!
Mom B: Wah hebat! Anakku baru aja tes IQ, semoga hasilnya bagus!
Mom C: Aku juga mau ikutan ah, biar anakku hebat seperti anak kalian!

Siapa sih yang tak ingin melihat buah hatinya tumbuh menjadi anak yang pintar disertai ‘segudang’ bakat hebat lainnya. Tak jarang para ibu rajin mengikutsertakan si kecil mengikuti analisis ini itu, tes IQ, dan ragam pelatihan lainnya. Salahkah? Hmmm, tidak juga! Tapi sebelum melakukannya, ikuti dulu ulasan berikut:

Jangan asal ikut tes psikologi!

Any Reputrawati, Psi, Psikolog dari RSJ Prof. DR. Soeroyo, Magelang - Jawa Tengah menyarankan Moms agar tidak sembarang melakukan tes terhadap si kecil.

“Jangan melakukan psikotes hanya karena ikut-ikutan atau tren! Biasanya karena melihat orangtua lain melakukan tes psikologi untuk anaknya, akan bermunculan orangtua lainnya yang ikut melakukan psikotes. Padahal belum tentu anaknya punya masalah psikologis. Kalau ada orangtua datang kepada kami, lalu ingin anaknya dites hanya karena orangtua ingin saja anaknya dites, biasanya kami suruh pulang!,” tegas Any.

Mengapa? Pada dasarnya tes psikologi dilakukan bila orangtua atau guru melihat adanya masalah pada anak. Misalnya anak menunjukkan gejala gangguan cemas di rumah atau saat prestasi belajarnya terus merosot. Masalah ini harus dicari penyebabnya agar kondisi dan perkembangan anak bisa berjalan dengan baik.

Kapan anak boleh ikut tes?Berbeda dengan tes pada orang dewasa yang harus menyelesaikan semua tes psikologi (menggunakan kartu bergambar dan alat tes lainnya), tes pada anak-anak biasanya dilakukan dengan meminta mereka bercerita atau menggambar sesuatu yang sederhana. Cara ini diharapkan bisa memunculkan apa yang menjadi gangguan atau masalah psikologis yang dialami anak.

Mereka juga bisa diajak bermain dengan permainan yang sebenarnya diarahkan untuk menggali apa yang ia rasakan. Usia yang memungkinkan anak mengikuti tes psikologi berkisar 4 atau 5 tahun, ketika anak sudah bisa diajak bicara dua arah. Sementara untuk tes IQ, Any menyarankan agar tak dilakukan pada usia dini.

“Mengukur kecerdasan secara teori, ditentukan banyak faktor. Misal kemampuan bahasa, menghitung, daya ingat, nalar, persepsi ruang, faktor kematangan sosial dan lainnya. Sebaiknya tes IQ dilakukan saat anak sudah mulai sekolah (6 tahun), dimana kemampuan komunikasi dua arah sudah lancar,” jelas Any.

Perlu Moms ketahui, tes psikologi hanya dapat diulang setahun sekali. Kalau dilakukan < 1 tahun, tidak akan bermanfaat sebab selama rentang waktu itu, performa anak tidak mengalami perubahan secara signifikan.

“Skor tes psikologi tidak bisa dimiliki orangtua, score test record hanya dipegang psikolog yang bersangkutan. Yang akan diberikan kepada Moms and Dads hanya kesimpulan dari serangkaian hasil tes secara keseluruhan, berupa uraian, tanpa skor apapun,” imbuh Any.

Saat ini banyak dilakukan tes psikologi untuk anak-anak usia TK yang akan melanjutkan ke sekolah dasar. “Tes ini untuk mengukur kemampuan dan kesiapan anak untuk sekolah. Hasil tes akan menunjukkan apakah anak sudah memiliki kematangan emosional, kemampuan melakukan interaksi sosial, mampu mengenali abjad dan sebagainya. Tes sebaiknya dilakukan paling cepat 6 bulan sebelum masuk SD,” anjurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar